Ironi Ditengah Corona: Saat Regulasi Dianggap Basa-basi

Tanjungpinang

Oleh: Andika Wiratama, S.Farm.,Apt (Apoteker Fungsional UPTD Puskesmas Kijang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepri)

Sudah lebih dari satu bulan sejak kasus pertama COVID-19 di Indonesia dikonfirmasi. Kasus positif yang awalnya hanya 2 orang, dalam waktu yang sangat singkat, kini sudah mencapai angka 3500 lebih, 300 jiwa diantaranya meninggal dunia.

Kasus COVID-19 menyebar
cepat di 34 provinsi di Indonesia, tak terkecuali provinsi Kepulauan Riau. Data terakhir tanggal 11 April 2020, di Kepulauan Riau sudah 23 orang yang dikonfirmasi positif, dengan rincian; Karimun 1 orang, Batam 10 orang dan yang terbanyak di Tanjungpinang yakni 12 orang.

Di Kabupaten Bintan sendiri saat ini masih dalam status 0 positif corona. Program demi program serta regulasi dalam bentuk spanduk, pamflet bahkan surat edaran telah sejak awal dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bintan.

“Bintan zero corona virus”,
demikianlah slogan utama sekaligus do’a yang berusaha diwujudkan pemerintah daerah dengan harapan tidak ada satupun dari masyarakat di Kabupaten Bintan yang terkena COVID-19 ini. Dengan slogan ini, maka mau tidak mau menuntut upaya antisipasi yang massif, efektif dan merata diseluruh lapisan masyarakat.

Telah dimaklumi bahwa, inti dari ikhitar melawan virus ini adalah pencegahan bukan pengobatan. WHO sendiri telah menyebutkan bahwa saat ini belum ada vaksin ataupun antivirus spesifik yang dapat mencegah atau mengobati COVID-19 ini, sehingga hal yang paling efektif saat ini adalah dengan melindungi diri sendiri agar sebisa mungkin tidak terpapar.

Dengan demikian, pemerintah, aparat, dan tenaga kesehatan selayaknya tidak kita sebut sebagai garda terdepan, melainkan garda terakhir.

Lantas siapa yang layak disebut garda terdepan? Itulah masyarakat. Masyarakatlah yang diharapkan membentuk kesadaran dirinya untuk melakukan ikhtiar pencegahan secara individu dan diterapkan pada tiap-tiap rumah, perkantoran, pertokoan, kedai-kedai kopi dan sebagainya, dengan cara-cara yang sudah diregulasi dan disosialisasikan oleh pemerintah, aparat dan tenaga kesehatan.

Sehingga apabila masyarakat tersebut tidak berhasil dalam mengupayakan pencegahan pada diri dan keluarganya, barulah mengandalkan garda terakhir yang ada. Namun amat disayangkan, upaya pemerintah dalam menggagas regulasi, oleh masyarakat masih ditanggapi seolah basa-basi, ikhtiar aparat yang maksimal, masih disambut dengan respon yang minimal.

Lalu bagaimana bisa dikatakan ikut mencegah bila setiap himbauan pemerintah terus disanggah?

Pemerintah secara hierarki telah mengatur regulasi dalam bentuk surat edaran, diantaranya pada tanggal 6 April 2020, Pemerintah Kabupaten Bintan telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 451.11/SETDA/298 tentang himbauan pencegahan penyebaran COVID-19 di masjid, surau dan mushola, yang menindaklanjuti tausiyah MUI Provinsi Kepri.

Secara umum pada poin 1 dan 2 dinyatakan bahwa pemerintah menghimbau (bukan melarang) agar “tidak menyelenggarakan sholat Jum’at dan menggantinya dengan Sholat Dzuhur di kediaman masing-masing, kemudian jamaah diminta melaksanakan sholat berjamaah 5 waktu di rumah masing-masing sampai kondisi kembali normal”, dan seterusnya.

Namun, masih ada masjid-masjid yang kurang memperhatikan surat edaran tersebut, dengan tetap menyelenggarakan sholat jumat dan berjamaah 5 waktu. Perkara ini, memang terdapat perbedaan fiqh di dalamnya, namun menyikapi surat edaran ini secara berlebihan dan berburuk sangka terhadap himbauan juga bukanlah hal yang tepat. Apalagi ditambah dengan sikap seolah menyepelekan yakni dengan tidak mengupayakan tindakan pencegahan penyebaran virus yang mungkin terjadi di masjid, surau atau musholla.

Himbauan pemerintah ini bukanlah tanpa dasar baik dari data ilmiah maupun dalil agama. Di Malaysia pada 15 Maret dilaporkan bahwa ada 190 kasus baru virus corona terkait acara di masjid. Di Pakistan, pada 6 April 2020 dilaporkan ada setidaknya 154 jamaah yang terinfeksi virus corona terkait dengan tabligh akbar.

Di Indonesia sendiri, pada tanggal 7 April, dilaporkan bahwa 73 jamaah di masjid Kebon Jeruk, Jakarta Barat dinyatakan positif corona karena tetap berkegiatan di Masjid. Sementara di Tanjungpinang, pada 27 Maret 2020, dikonfirmasi 1 orang Jamaah Tabligh positif usai mengikuti tabligh akbar di salah satu masjid di Malaysia, menyusul 2 hari setelahnya dikonfirmasi bahwa 5 orang jamaah positif corona berdasarkan hasil pemeriksaan tim medis di masjid Baiturrahman, Tanjungpinang.

Berdasarkan data tersebut, hendaknya kita kedepankan baik sangka kita terhadap kebijakan pemerintah. Aturan sholat berjamaah di masjid yang diatur oleh pemerintah bukanlah bermaksud menjauhkan umat dari masjid, melainkan upaya pencegahan dalam rangka
menyelamatkan tiap-tiap jiwa dari bahaya yang dikhawatirkan lebih buruk dampaknya. Kita bersyukur Kabupaten Bintan sampai saat ini masih 0 kasus poisitif corona.

Akan tetapi, pemerintah saat ini tidak ingin menunggu sampai ada kasus terlebih dahulu baru kemudian mengedarkan himbauan, melainkan berupaya agar jangan sampai ada satupun kasus yang terjadi di Kabupaten Bintan.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Bintan pada tanggal 9 April 2020 juga telah mengeluarkan surat edaran nomor 420/DISDIK/217 dan pada poin 7 disebutkan bahwa “orang tua melakukan pengawasan, pendampingan serta memastikan putra/putrinya melaksanakan kegiatan pembelajaran dari rumah serta membatasi aktivitas keluar rumah”.

Namun pada kenyataannya masih banyak ditemui pelajar-pelajar yang keluyuran dan bahkan duduk-duduk berkumpul di tempat-tempat umum terutama saat sore dan malam hari, baik dengan dalih jalan-jalan sore, atau sekedar jajan. Bahkan, beberapa hari yang lalu saat aparat melakukan operasi himbauan ke kedai-kedai kopi dipagi hari, didapati beberapa pelajar yang justru nongkrong di dalamnya.

Fakta-fakta di lapangan tentang betapa kurangnya perhatian masyarakat terhadap kebijakan yang dimaklumatkan oleh pemerintah, membuat orang-orang yang mengerti betapa bahaya dan cepatnya virus ini menyebar, merasa miris.

Kalau seperti ini, akankah “zero corona virus” di Bintan dapat dipertahankan dan benar-benar terwujud? Sedangakan masyarakatnya saja masih menganggap regulasi seolah basa-basi.

KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini