Rumah Lis Darmansyah Selalu Terbuka untuk Masyarakat Tanjungpinang

Tanjungpinang2 Dilihat

TANJUNGPINANG – Rumah calon Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, setiap hari dipadati oleh puluhan hingga ratusan pengunjung. Pemandangan ini bukanlah hal baru, dan bukan hanya karena pencalonannya dalam Pilkada Tanjungpinang.

Sejak jauh sebelum memutuskan untuk maju, rumah Lis telah menjadi tempat berkumpul bagi warga. Mereka datang untuk bersilaturahmi dan berbagi cerita tentang tantangan hidup yang mereka hadapi. Lis, yang dikenal empati dan peduli, selalu menyambut mereka dengan tangan terbuka, mendengarkan keluh kesah mereka, dan berusaha meringankan beban yang mereka pikul.

Lis Darmansyah menghayati satu prinsip hidup yang mendalam: bahwa kehidupan harus bermanfaat bagi orang lain. Prinsip ini diwarisi dari almarhumah ibunya, Hj. Siti Halimah Tun Sa’dah Bachry, yang telah mengajarkan arti ketulusan dan pengorbanan. Kenangan masa kecilnya menyaksikan perjuangan ibunya, yang bekerja keras demi keluarga, membentuk karakternya hingga kini.

Salah satu kenangan yang mengesankan adalah saat Lis, yang masih kecil, tanpa sengaja menghancurkan kue lapis yang dibuat ibunya untuk dijual. Alih-alih marah, ibunya memeluknya dan menyatakan bahwa mereka akan menikmatinya bersama. Dari situ, Lis belajar tentang penerimaan dan kasih sayang.

Ibunya juga menceritakan perubahan hidup mereka setelah kepergian ayahnya, di mana perhatian sepenuhnya dialihkan kepada anak-anak. Selain itu, Lis diajarkan arti persaudaraan dan menghargai orang lain. Setiap kali bertemu, ia tak ragu untuk bersalaman sebagai tanda rasa hormat dan kebersamaan.

Lis juga belajar tentang kekuatan doa. Ia diajarkan untuk memohon dengan tulus di hadapan Tuhan ketika menginginkan sesuatu. Kebiasaan ini menjadi sandaran saat menghadapi masalah, memberikan ketenangan dan kekuatan dalam setiap langkahnya.

Namun, perjalanan hidup Lis tidak selalu mulus. Ketika ia berkarir di Inggris dan merencanakan masa depan dengan seorang wanita Irlandia, kabar bahwa ibunya sakit keras memanggilnya pulang. Tanpa ragu, ia kembali ke Jakarta, mengutamakan keluarga di atas segalanya.

Setiap kenangan bersama ibunya menggugah hatinya. Lis memahami betapa besar cinta dan pengorbanan ibunya. Meski kini ibunya telah tiada, warisan ajaran dan nilai-nilai yang ditanamkan terus mengalir dalam dirinya.

Setelah kepergian ibunya, Lis merasakan kekosongan yang dalam. Selama enam bulan, ia berjuang menghadapi kehilangan, tetapi pengajaran ibunya selalu mengingatkannya untuk peduli terhadap orang lain. Setiap kali melihat seseorang dalam kesulitan, ia merasa terhubung dengan dirinya di masa lalu, dan tanpa ragu, ia berusaha membantu.

Bagi Lis, membantu orang lain adalah panggilan nurani. Warisan ibunya, untuk hidup yang berarti dan berguna bagi sesama, akan terus ia pegang dan laksanakan dalam setiap langkahnya ke depan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *