TANJUNGPINANG – Kritik terhadap Pemerintah Kota Tanjungpinang di bawah kepemimpinan Lis Darmansyah dan Raja Ariza (Lis-Raja) terus bermunculan, meski usia kepemimpinan mereka baru enam bulan. Salah satunya datang melalui artikel berjudul “Tanjungpinang Lelah” yang berupaya membangun opini bahwa pemerintah kota tidak bekerja dan telah gagal.
Artikel tersebut menuai sorotan karena membandingkan Tanjungpinang dengan Batam tanpa menyertakan pemahaman menyeluruh terhadap konteks struktural, geografis, dan fiskal kedua daerah. Batam sebagai kota bisnis memiliki status Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dengan dukungan anggaran ganda dari APBD dan APBN, serta fasilitas fiskal yang tidak dimiliki Tanjungpinang.
Perbandingan ini dianggap tidak relevan dan cenderung menyesatkan. Tanjungpinang, yang ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan nilai historis dan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002, bukanlah kota industri seperti Batam. Sebagai kota pemerintahan, pendekatan pembangunannya tentu berbeda.
Dilansir katakepri.com, Senin (28/7/2025), Kabag Pemerintahan Pemko Tanjungpinang, Raja Kholidin, mengatakan Pemerintah Kota Tanjungpinang saat ini fokus membenahi aspek-aspek mendasar, seperti penataan ekonomi lokal, iklim investasi, dan struktur pemerintahan yang lebih rapi dan efisien. Ini adalah fase penting untuk memperkuat fondasi sebelum bergerak ke pembangunan yang lebih luas.
Fakta sejarah juga menunjukkan bahwa Tanjungpinang pernah mencapai puncak pertumbuhan ekonomi 7,98 persen pada 2017, menjadikannya kota dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi ketiga secara nasional dan tertinggi di luar Pulau Jawa. Ini bukti bahwa kota ini punya potensi besar yang bisa dikembangkan kembali.
Meski saat ini ekonomi nasional tengah stagnan, Pemko Tanjungpinang tetap berupaya membuka ruang investasi dengan menata ulang lahan-lahan non-produktif, termasuk 1.637 hektare lahan berstatus HGB dan HGU yang selama ini terbengkalai. Ini bagian dari ikhtiar serius untuk mengembalikan produktivitas wilayah.
Selain ekonomi, lanjut Kholidin, upaya lain yang dilakukan adalah penataan ulang struktur RT dan RW. Restrukturisasi ini dilakukan agar unit terkecil pemerintahan dapat bekerja lebih efisien dan seimbang sesuai kepadatan penduduk dan rentang kendali. Tujuannya untuk menciptakan pelayanan publik yang lebih terorganisir dan responsif.
Menurutnya RT/RW bukan lah lembaga sosial biasa, tapi bagian dari sistem birokrasi yang memiliki peran vital dalam urusan publik. “Mulai dari pengelolaan data kependudukan, distribusi bantuan sosial, hingga mediasi persoalan warga semuanya bermuara di tangan RT dan RW,” katanya yang dikutip dari katakepri.com, Selasa (29/7/2025).
Ia menambahkan, ada ketimpangan besar dalam jumlah dan cakupan kerja RT/RW sebelumnya, yang berdampak pada ketidakmerataan pelayanan. Oleh karena itu, pemetaan baru berbasis proporsi kependudukan dan wilayah menjadi solusi agar pelayanan dasar berjalan lebih adil dan merata.
Kajian sudah dilakukan, sosialisasi telah berjalan, dan finalisasi tengah disiapkan dalam bentuk Peraturan Wali Kota. Ini merupakan proses penting untuk memastikan pemerintahan paling dasar bekerja dengan kapasitas yang tepat, bukan sekadar formalitas administratif
Sementara itu, Wartawan senior Tanjungpinang, Sigit Rahma, menilai perbandingan yang dilakukan Roby Patria, sang penulis artikel, sebagai upaya yang tidak seimbang.
Dilansir media lokal digitalnews.co.id, pada Senin (28/7/2025), ia mengatakan mengukur kinerja Tanjungpinang dengan parameter Batam ibarat membandingkan kucing dengan harimau, dua hal yang sangat berbeda secara struktur, anggaran, dan fungsi kawasan.
“Membandingkan Tanjungpinang dengan Batam, jelas tidak sebanding. Memang sama-sama kota otonom bagian dari Provinsi Kepri,” kata Sigit dikutip dari digitalnews.co.id, pada Selasa (29/7/2025).
Ia menambahkan, Batam dengan keistimewaannya sebagai wilayah FTZ (Free Trade Zone), memiliki insentif fiskal seperti bebas PPN yang jelas membuatnya lebih menarik bagi investor. Sementara Tanjungpinang, yang tidak memiliki keistimewaan fiskal serupa, justru harus lebih kreatif dalam mengelola potensi lokal.
Sebagai kota kecil, justru posisi Tanjungpinang sebagai pusat pemerintahan di Kepri sangat strategis dalam menjaga keseimbangan antara pemerataan pembangunan dan pertumbuhan. Menjadi sentral administratif, Tanjungpinang tidak bisa dinilai dengan ukuran output industri semata.
Pengamat kebijakan publik, Ferizone, juga menilai bahwa kritik terhadap pemerintah adalah hal biasa, namun harus diikuti dengan saran yang konkret dan solusi sistematis. Ia menilai bahwa Pemko Tanjungpinang sedang berada di jalur yang benar untuk melakukan perubahan tata kelola pemerintah.
Menurutnya, reformasi struktural seperti ini memang membutuhkan waktu dan pemahaman. Jika masyarakat hanya menilai dari permukaan, mereka akan mudah tertipu oleh dinamika sesaat dan melewatkan esensi perubahan yang sedang dirintis.
Ia juga mengingatkan pentingnya peran media dan semua elemen masyarakat dalam menjaga narasi pembangunan agar tetap konstruktif dan objektif. Kritik boleh saja tajam, tetapi semangat kolektif untuk membangun tidak boleh patah karena persepsi yang keliru.
Pemerintah Kota Tanjungpinang menyadari bahwa pembangunan tidak bisa instan. Butuh proses, waktu, konsistensi, dan dukungan bersama. Justru di masa awal ini, pembenahan dilakukan secara menyeluruh agar ke depan langkah pembangunan menjadi lebih terarah.
Tanjungpinang tidak lelah. Ia sedang berbenah seperti menata struktur, mengurai potensi, dan membentuk harapan. Kritik yang jernih tentu diterima, namun mari kita lihat keseluruhan proses, bukan hanya permukaannya. Sebab dari pembenahan yang terukur, lahir masa depan yang terarah.
(tr/red)