Ketika Lis Peduli Pedagang Kecil, Ansar Malah Pro Pengusaha

Opini15 Dilihat

WAJAH KEPEMIMPINAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU sedang diuji. Di saat Wali Kota Tanjungpinang Lis Darmansyah bersama wakilnya, Raja Ariza, menunjukkan kepedulian nyata kepada pedagang kecil dan UMKM, Gubernur Kepulauan Riau Ansar Ahmad justru mengambil langkah yang berlawanan.

Lis-Ariza bergerak cepat mewujudkan janji politik untuk memberdayakan UMKM agar tumbuh dan berkembang, melalui pelatihan dan dukungan permodalan. Salah satu kebijakan Lis, adalah dengan menggandeng Pegadaian serta memfasilitasi sertifikat halal bagi IKM. Semua ini dilakukan untuk memperkuat pedagang kecil agar lebih mandiri, berdaya saing, dan sejahtera. Inilah wajah kepemimpinan yang berpihak pada rakyat kecil.

Namun di sisi lain, Gubernur Ansar justru memilih kebijakan yang membuat mereka sangat kecewa. Rencana melelang lokasi kuliner di kawasan Gurindam 12 kepada pengusaha swasta dengan kontrak 30 tahun adalah bukti nyata arah kebijakan yang lebih berpihak pada pemodal ketimbang memperjuangkan rakyat sendiri.

Padahal, Gurindam 12 dibangun dengan keringat rakyat. Hampir Rp500 miliar uang negara telah digelontorkan demi menghadirkan kawasan yang dapat dijadikan sebagai pusat perekonomian Tanjungpinang, dengan pemandangan laut yang indah. Wajar jika publik marah dan bertanya: untuk siapa sebenarnya fasilitas Gurindam 12 dibangun?

Jika logika Ansar semata penataan kawasan dan menambah pundi-pundi kas daerah, jelas itu terlalu dangkal. Menata kawasan bisa dilakukan tanpa harus menyerahkannya ke tangan swasta. Kas daerah bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keberpihakan pada masyarakat yang paling membutuhkan ruang untuk berusaha.

Rakyat tentu tidak buta. Mereka tahu siapa yang peduli dan siapa yang hanya berpura-pura. Wali Kota Lis menghadirkan program nyata agar UMKM tumbuh, sementara Gubernur Ansar seolah tega mengusir mereka dengan dalih pengelolaan profesional.

Kebijakan ini melukai hati rakyat kecil. Bagaimana mungkin seorang pemimpin tega menutup peluang masyarakatnya untuk menikmati kawasan yang sudah dibangun dengan uang mereka sendiri? Bukankah tujuan utama pemerintahan adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan memperkaya segelintir pengusaha?

Pertanyaan besar pun mencuat: apa sebenarnya di balik kebijakan lelang Gurindam 12? Apakah ini murni untuk kepentingan pembangunan, atau ada kepentingan kelompok tertentu yang selama ini menjadi lingkaran dekat kekuasaan?

Publik berhak curiga. Sejarah menunjukkan, setiap kali fasilitas publik diserahkan ke tangan swasta, rakyat kecil yang paling pertama tersingkir. Lahan dagang akan dikuasai pemilik modal besar, sementara pedagang kecil hanya jadi penonton di kampung halamannya sendiri.

Ansar jelas gagal menunjukkan empati. Di saat rakyat masih berjuang dengan wajah lesu dan keringat bercucuran demi sesuap nasi, kebijakannya justru berpotensi mengusir mereka dari ruang yang seharusnya bisa jadi ladang penghidupan.

Kepemimpinan tanpa empati adalah penghianatan. Gubernur semestinya menjadi teladan bagi kepala daerah kabupaten/kota, bukan malah memberikan contoh buruk dengan berpihak pada oligarki. Seharusnya Provinsi Kepri hadir memperkuat daerah di wilayahnya, bukan justru melemahkan seperti Pemko Tanjungpinang yang sedang serius membangun UMKM dan pedagang kecil.

Gurindam 12 bukan sekadar lokasi kuliner. Ia adalah simbol bagaimana rakyat kecil bisa ikut menikmati hasil pembangunan. Jika simbol itu dirampas oleh kepentingan modal, maka sesungguhnya pemerintah provinsi sedang merampas hak rakyat.

Hari ini publik menuntut kejelasan: apakah Gubernur Ansar memimpin untuk rakyat kecil, atau sekadar untuk memuaskan kepentingan segelintir pengusaha? Pertanyaan itu akan terus bergema, sampai kebijakan yang berpihak pada rakyat benar-benar ditunjukkan.

suluhkepri.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *