Bela Dokter Terawan, Ketum SMSI: Semestinya Utamakan Kesehatan Demi Kemanusiaan

Tanjungpinang
Ketua SMSI Firdaus dan Dokter Terawan

JAKARTA – Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Firdaus angkat bicara terkait pemecatan mantan Menteri Kesehatan, Dokter Terawan Putranto, oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Firdaus mengatakan sekaliber dokter Terawan yang pernah menjabat ketua organisasi dokter militer dunia, ICMM dan ketua Majelis Etik Kedokteran RSPAD selama dua tahun, tentulah disertasi DSA telah dipersiapkan secara matang dan cermat, terlebih distertasi diuji secara ilmiah dihadapan sejumlah guru besar Unhas.

“Saya mengenal dokter terawan sewaktu saya pasang ring di RS Gatot Subroto. Waktu saya mengenalnya, beliau telah Riset tentang DSA bahkan telah melahirkan 12 jurnal internasional dan enam orang doktor, termasuk diri Terawan,” tegas Firdaus.

Terkait temuan Dokter Terawan, tentang terapi “cuci otak” yang kemudian dipersoalkan IDI dan berbuah pemecatan, menurut Firdaus, keputusan tersebut sangat janggal dan kurang bijaksana.

Firdaus menjelaskan, ada seratus ribu lebih pasien DSA yang bersyukur karena telah diselamatkan melalui tangan Dokter Terawan. Di luar sana masih banyak lagi yang menanti untuk dapat lepas dari penderitaan penyakit tersebut

Harusnya IDI lebih mengutamakan kesehatan, baru kemudian prosedur birokrasi. Karena apa yang dilakukan Dokter Terawan melaui temuannya itu, adalah demi kemanusiaan.

“Semestinya kita utamakan pelayanan kesehatan demi kemanusiaan, kemudian prosedur birokrasi organisasi secara komprehenship” tandas Firdaus.

Sebagaimana diketahui pemecatan Dokter Terawan oleh IDI menyulut protes dari berbagai kalangan karena dianggap sangat janggal, bahkan menghambat kemajuan dunia kedokteran di Indonesia.

Namun Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) yang mengeluarkan rekomendasi pemecatan Dokter Terawan dari IDI mengaku punya alasan yang kuat. MKEK memberi penjelasan terkait latar belakang yang mendasari pemberhentian Dokter Terawan Putranto dari keanggotaan IDI dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Senin, 4 April.

Menurut MKEK, ada masalah besar pada metode digital subtraction angiography (DSA) atau ‘cuci otak’ yang diperkenalkan oleh Terawan.

Perwakilan MKEK, Dokter spesialis farmakologi klinik yang membidangi bidang obat, Prof Rianto Setiabudi, memaparkan terdapat bagian-bagian tertentu dari disertasi Terawan yang mengandung kelemahan substansial.

Firdaus menambahkan bahkan saat menyelesaikan program doktoralnya di Unhas Makasar, Dokter Terawan menyusun disertasi dengan judul “Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis.”

“Yang menjadi pertanyaan masyarakat, jika dokter Terawan dicabut ijin prakteknya karena terkait DSA yang dianggap mengandung kelemahan substansial, bagaimana dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh para dokter di sejumlah rumah sakit?” tanya Firdaus.

“Bahkan ada oknum dokter di salah satu rumah sakit yang mengaku-ngaku murid dokter Terawan demi menggaet pasien,” ungkap Firdaus yang pernah menjadi Ketua PWI Banten dua periode.

Terawan sendiri, tambah Firdaus, tidak mau mempatenkan temuannya ini karena dia merasa temuan ini adalah anugerah dari Tuhan sehingga dengan senang hati dia akan melatih para dokter yang ingin belajar darinya.

“Sudah banyak dokter yang diajarkan teknik DSA secara langsung oleh dokter Terawan, apakah mereka harus dicabut juga ijin prakteknya? Juga para dokter lain yang tidak berguru dengan Terawan namun beroperasi di sejumlah rumah sakit lainnya dan tidak pernah melakukan uji klinis apakah dipecat juga?” sergah Firdaus.

“Terawan itu dokter yang kreatif dan inovatif serta visioner. Mengapa harus dipermasalahkan dan dipecat dari keanggotaan IDI? Bukankah bagi masyarakat yang penting dokter itu bisa memberikan manfaat kesehatan dan berguna bagi pasiennya?” tandas Firdaus.

Firdaus yang memimpin organisasi media siber terbesar di dunia versi MURI ini mengatakan, dalam IDI harusnya ada kebersamaan, ada kompetisi tanpa eliminasi. Dalam kebersamaan itu ada saling ketergantungan yang saling melengkapi bukan mengkriminalisasi.

“Dalam kebersamaan harus terwujud kesederajatan, persamaan hak dan martabat agar menjadi harmoni. Melalui relasi kasih sayang, harusnya IDI memandang sejawat dengan sikap mengasihi,” imbuh Firdaus. ***

KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini