Gubernur Ansar vs Rakyat Soal Lelang Kawasan Gurindam 12

Tanjungpinang173 Dilihat

TANJUNGPINANG – Kebijakan Gubernur Kepulauan Riau, Ansar Ahmad, yang bersikeras melelang pengelolaan kawasan kuliner Gurindam 12 kepada pihak swasta, kini menjadi sorotan tajam publik. Rencana yang dikemas dalam bentuk Kerja Sama Pengelolaan (KSP) selama 30 tahun itu, dipandang sebagai bentuk privatisasi ruang publik yang dibangun dari uang rakyat, dan berpotensi menyingkirkan pedagang kecil serta pelaku UMKM yang selama ini bertahan hidup di kawasan tersebut.

Kebijakan ini memicu kemarahan masyarakat Tanjungpinang, yang menilai langkah Gubernur Ansar tidak transparan dan sarat kepentingan terselubung. Pasalnya, rencana lelang itu dilakukan tanpa proses partisipatif, tanpa sosialisasi, dan tanpa melibatkan warga yang terdampak langsung. Bahkan komunitas pedagang yang sudah hitungan tahun menggantungkan hidup di kawasan Gurindam 12 mengaku baru tahu dari pemberitaan media bahwa kawasan tempat mereka berdagang akan dilelang ke pengusaha.

“Ini bukan sekadar soal kebijakan ekonomi, tapi tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan,” protes sejumlah pedagang menanggapi kebijakan lelang tersebut, dalam sebuah diskusi yang digelar beberapa waktu lalu.

“Kami pedagang kecil pasti tergusur, padahal kami yang menghidupkan tempat itu setiap hari, tapi kini kami yang pertama akan disingkirkan.”

Pernyataan Gubernur Ansar bahwa kerja sama pengelolaan akan membuat kawasan itu “lebih profesional dan modern” justru menjadi “petir di siang bolong” bagi masyarakat. Bagi publik, kata-kata “profesional” dan “modern” hanyalah pembungkus dari upaya menyerahkan aset publik kepada kelompok pemodal besar dengan dalih efisiensi.

Forum Peduli Ibukota (FPI) Provinsi Kepri menjadi salah satu kekuatan utama yang menentang kebijakan tersebut. Dalam pernyataannya, Koordinator FPI Kepri, Hajarullah Aswad, menilai bahwa lelang Gurindam 12 adalah simbol nyata pemerintahan yang kehilangan keberpihakan pada rakyat kecil.

“Kawasan Gurindam 12 itu dibangun dengan uang rakyat sekitar Rp500 miliar dari APBD. Tapi setelah selesai dan siap dimanfaatkan, justru rakyat yang diusir dari tanahnya sendiri. Ini penghinaan terhadap publik,” tegas Hajarullah dalam berbagai diskusi menyoroti kebijakan lelang tersebut.

Ia juga menuding bahwa kebijakan Ansar mencerminkan gaya kepemimpinan yang lebih berpihak pada kepentingan oligarki ekonomi daripada keadilan sosial. “Apa gunanya pembangunan besar-besaran kalau hasilnya hanya untuk segelintir orang yang sudah kaya? Pemerintah seharusnya hadir melindungi pedagang dan UMKM, bukan menyerahkan mereka ke tangan pengusaha,” katanya.

Namun, Gubernur Ansar tampaknya tak goyah oleh kritik. Dalam berbagai kesempatan, ia justru membanggakan potensi keuntungan ganda yang akan diterima Pemprov Kepri, yaitu berupa sewa lahan dan bagi hasil dari pengelola swasta.

Sayangnya, kalkulasi untung-rugi Gubernur mengabaikan sisi sosial dan moral dari kebijakan tersebut. Ia lupa, Gurindam 12 bukan sekadar aset ekonomi, tapi simbol ruang publik rakyat Tanjungpinang yang lahir dari semangat kebersamaan.

Lebih ironis lagi, penolakan luas dari masyarakat, awalnya tidak direspons dengan dialog terbuka, melainkan dengan narasi pembenaran dengan memanfaatkan media sebagai corong. Pemerintah Provinsi Kepri hakul yakin bahwa kerja sama dengan swasta akan meningkatkan PAD, tanpa pertimbangan risiko penggusuran, hilangnya akses publik, serta matinya mata pencaharian rakyat kecil.

Sikap keras kepala Gubernur Ansar kini menjadi bumerang politik. Ia bukan hanya kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga memperlihatkan wajah pemerintahan yang jauh dari nilai-nilai partisipatif dan empatik. Sementara di sisi lain, aksi-aksi penolakan terus bermunculan. Ratusan warga bersama ormas dan komunitas UMKM, hari ini, Rabu (8/10/2025), akan turun ke jalan menuntut penghentian proses lelang yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.

Bahkan, Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, ikut angkat suara dan memprotes langkah Gubernur yang sebelumnya tidak pernah mengajak koordinasi dengan pemerintah kota. Meski Lis meminta agar pengelolaan Gurindam 12 diserahkan ke Pemko Tanjungpinang agar bisa difungsikan untuk pemberdayaan pedagang kecil dan pelaku UMKM. Namun, permintaan itu terkesan diabaikan Gubernur Ansar.

Kini, publik bertanya-tanya, apa sebenarnya motif di balik keinginan Ansar Ahmad melelang Gurindam 12 ke swasta? Apakah murni demi efisiensi dan profesionalisme, atau ada kepentingan politik dan ekonomi yang sedang disembunyikan? Pertanyaan ini menggantung di udara, sementara rakyat terus berjuang mempertahankan haknya atas ruang publik yang mereka bangun dan rawat dengan keringat sendiri.

Satu hal yang pasti, Gubernur Ansar kini berhadapan langsung dengan rakyatnya sendiri. Pemimpin yang melawan kehendak rakyat bukan hanya gagal memahami amanah, tetapi akan menjadi catatan kelam dalam sejarah Kepulauan Riau sebagai simbol arogansi kekuasaan yang menindas rakyatnya sendiri.

(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *