Tidak Transparan-Cacat Hukum, FPI Kepri Desak Gubernur Batalkan Lelang Gurindam 12

Tanjungpinang20 Dilihat

TANJUNGPINANG – Forum Peduli Ibu Kota Kepulauan Riau (FPI Kepri) melayangkan kritik keras terhadap Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPP) Provinsi Kepri terkait rencana pelelangan aset publik kawasan Taman Gurindam 12.

Dalam pertemuan bersama Kepala Dinas PUPP Kepri, Rodi Yantari, dan jajaran pejabatnya, Rabu (22/10/2025), FPI Kepri menilai proses lelang tersebut tidak transparan, tidak melalui kajian matang, dan berpotensi melanggar hukum. Redaksi suluhkepri.com juga menerima foto pertemuan tersebut.

Pertemuan yang digelar di ruang rapat Kepala Dinas PUPP itu dihadiri panitia pelaksana proyek lelang yang memaparkan rencana teknis kegiatan. Seusai mendengar paparan dari Rodi dan anak buahnya, Ketua Umum Koordinator FPI Kepri, Ustad Hajarullah Aswad, menyampaikan sederet pertanyaan tajam yang mengguncang ruang rapat.

Menurut Hajarullah, Dinas PUPP terkesan terburu-buru melelang aset strategis tanpa melibatkan publik, tanpa transparansi kajian, dan juga tanpa menunjukkan dokumen pendukung yang seharusnya menjadi dasar hukum pelaksanaan lelang. “Kami bukan anti pembangunan, tapi anti penyimpangan,” tegas Hajarullah, melalui keterangan tertulisnya.

Dalam pertemuan tersebut, FPI Kepri menyampaikan lima analisis penting yang seharusnya menjadi syarat mutlak sebelum pemerintah memutuskan untuk melelang aset publik seperti Gurindam 12. Namun kelimanya, kata Hajarul, hingga kini tidak pernah dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat.

Pertama, analisis kelayakan aset. Hajarullah menegaskan bahwa Dinas PUPP wajib menyampaikan hasil kajian tentang kelayakan aset tersebut untuk dilelang kepada pihak swasta. “Apakah Gurindam 12 layak dijual atau diserahkan ke investor? Kalau ada analisisnya, tunjukkan kepada publik. Jangan sekadar bicara konsep tanpa dasar,” ujarnya.

Pertemuan FPI dan Kadis PUPP Kepri soal lelang gurindam 12. istimewa

Kedua, analisis dampak lingkungan. Kawasan Gurindam 12 yang berada di tepi laut dinilai memiliki kerentanan ekologis tinggi. FPI Kepri menilai pemerintah tidak boleh gegabah mengubah fungsi kawasan publik tanpa kajian AMDAL yang jelas. “Setiap perubahan bentang kawasan harus mempertimbangkan dampak ekologis. Jangan sampai ambisi bisnis mengorbankan keseimbangan lingkungan,” kata Hajarul.

Ketiga, analisis kebutuhan masyarakat. FPI Kepri mempertanyakan urgensi pelelangan tersebut jika tujuannya hanya membangun pusat kuliner atau area komersial bertaraf tinggi. Menurut Hajarullah, masyarakat Tanjungpinang justru kekurangan ruang publik terbuka yang bisa dinikmati semua kalangan. “Pertanyaannya sederhana: apakah yang dibutuhkan rakyat Tanjungpinang adalah pusat kuliner ‘branded’ atau ruang terbuka yang menyehatkan kehidupan sosial kota? Perlu kajian,” sindirnya.

Keempat, analisis finansial. Forum menilai pemerintah provinsi gagal menjelaskan secara transparan potensi keuntungan dan kerugian dari swastanisasi aset publik tersebut. “Berapa pendapatan daerah dari kerja sama ini? Siapa yang diuntungkan? Kalau publik tidak bisa menghitung untung-ruginya, maka ini bukan proyek ekonomi, tapi proyek misteri,” tegas Hajarul.

Kelima, kajian hukum. Menurut FPI Kepri, Dinas PUPP tidak bisa seenaknya melelang aset provinsi yang berada di wilayah Kota Tanjungpinang tanpa koordinasi dengan pemerintah kota dan tanpa persetujuan DPRD. “Ini bisa dikategorikan cacat hukum. Bila tidak ada restu DPRD, maka lelang ini ilegal,” ungkapnya.

*****

Hajarullah juga membeberkan beberapa aturan yang terkesan diabaikan terkait lelang Gurindam 12. Seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada Pasal 170 Ayat (1) menyebutkan bahwa pengelolaan kekayaan daerah yang berupa tanah dan bangunan harus dilakukan dengan persetujuan DPRD. “Kalau aturan sejelas ini saja diabaikan, berarti kita sedang menyaksikan kemunduran tata kelola pemerintahan daerah,” ucapnya.

Selain itu, Pasal 65 Ayat (1) undang-undang yang sama juga mewajibkan pemerintah daerah untuk berkonsultasi dengan DPRD dalam penyusunan RPJMD dan rencana tahunan pembangunan daerah. “Jadi, Gubernur tidak bisa bertindak sepihak, apalagi menyerahkan aset publik tanpa mekanisme yang sah,” tegasnya lagi.

FPI Kepri menilai rencana lelang Gurindam 12 berpotensi menjadi preseden buruk bagi tata kelola aset publik di Kepri. Bila proyek ini dilanjutkan tanpa dasar hukum dan analisis yang jelas, masyarakat menilai pemerintah telah menyepelekan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Dalam kesempatan itu, FPI Kepri juga mengingatkan Gubernur Kepri Ansar Ahmad agar lebih sensitif terhadap aspirasi warga ibu kota provinsi. “Jangan hanya mendengar suara investor, tapi dengarlah suara rakyat yang setiap hari melewati kawasan Gurindam 12. Mereka yang akan paling merasakan dampaknya,” ujar Hajarul.

“Kami juga menegaskan sikap teguh FPI Kepri yang tetap menolak lelang kawasan Gurindam 12 ke pihak swasta.”

Kepada suluhkepri.com, Hajarullah menegaskan FPI Kepri bahkan membuka opsi aksi demonstrasi lanjutan jika pemerintah tetap bersikeras melanjutkan proses lelang. “Kami tidak menolak pembangunan, tapi kami menolak penyelewengan. Jika proyek ini tetap dipaksakan, kami akan turun ke jalan dengan massa yang lebih besar,” ancam Hajarullah.

Bagi FPI Kepri, Gurindam 12 bukan sekadar aset fisik, tetapi simbol identitas dan ruang kebanggaan masyarakat Tanjungpinang. Karena itu, menyerahkan kawasan tersebut ke pihak swasta tanpa perhitungan matang dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kepentingan publik.

“Pemerintah provinsi harus berani membuka semua dokumen lelang kepada publik, dari kajian hukum, AMDAL, hingga perhitungan finansial. Kalau semuanya bersih, kenapa harus takut transparansi?” kritik Hajarullah.

(tr/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *