TANJUNGPINANG – Gelombang penolakan terhadap rencana lelang kawasan kuliner Gurindam 12 akhirnya pecah menjadi aksi nyata. Hari ini, Rabu (8/10/2025), ratusan massa yang tergabung dalam Forum Peduli Ibukota (FPI) Provinsi Kepulauan Riau bersama sejumlah ormas, rencananya akan melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Gubernur Kepri, Dompak.
Dalam undang terbuka, bahwa aksi damai akan dimulai pukul 09.00 WIB dengan titik kumpul di Pamedan, lalu long march menuju Kantor Gubernur Kepri di Dompak. Berbagai elemen masyarakat akan ikut aksi. Tuntutan mereka agar Gubernur Ansar Ahmad segera membatalkan rencana lelang kawasan kuliner Gurindam 12 yang dinilai sarat kepentingan oligarki ekonomi dan merugikan masyarakat khsususnya pedagang kecil dan UMKM.
Aksi ini bukan muncul tiba-tiba. Sejak jauh hari, FPI Kepri telah menyuarakan penolakan keras terhadap kebijakan tersebut. Mereka menilai langkah Gubernur Ansar melelang kawasan Gurindam 12 ke pihak swasta sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kepentingan rakyat kecil, khususnya para pedagang dan pelaku UMKM yang selama ini menggantungkan hidup di kawasan itu.
Pada 2 Oktober lalu, FPI telah menggelar konsolidasi besar di Puja Sera Pinang Harmoni, KM 7, Tanjungpinang. Dari forum itulah, keputusan bulat diambil untuk turun ke jalan apabila Gubernur tetap kukuh. Koordinator Utama FPI Kepri, Hajarullah Aswad, melalui pesan terbuka yang beredar di berbagai grup WhatsApp dan media sosial, menyerukan agar masyarakat ikut serta dalam aksi damai menolak lelang Gurindam 12.
Konsolidasi untuk mematangkan aksi demonstrasi hari ini juga digelar tadi malam, yang dilaksanakan di kedai kopi Anggrek Batu 11, arah Kijang, persis depan SMPN 7, Tanjungpinang. Dalam pernyataannya, Hajarullah mengaku prihatin bahkan masyarakat marah terhadap kerasnya sikap Gubernur Ansar yang menolak mendengar suara mereka.
“Ini bukan sekadar soal kebijakan ekonomi. Ini soal keberpihakan. Saat rakyat meminta keadilan, Gubernur malah menutup telinga dan berpihak pada kepentingan pemodal besar. Gurindam 12 dibangun dengan uang rakyat, tapi kini justru hendak diserahkan kepada segelintir pengusaha,” ujar Hajarullah dengan tegas, saat konsolidasi aksi.
Ia menambahkan, lelang Gurindam 12 adalah bentuk nyata penguasaan ruang publik oleh oligarki ekonomi yang berlindung di balik jargon investasi. “Yang terjadi nanti, rakyat kecil, pedagang kaki lima, dan UMKM akan tersingkir. Harga sewa tempat pasti akan melambung tinggi, dan kawasan yang dulunya hidup dari keringat rakyat akan menjadi milik kaum berduit,” katanya.
Menurut Hajarullah, sikap Gubernur Ansar yang tetap melanjutkan proses lelang meski ditolak banyak pihak adalah tindakan yang tidak demokratis. “Ini aneh. Bukannya mendengar aspirasi rakyat, Gubernur justru bertindak seperti penguasa otoriter yang merasa paling benar. Ia mengorbankan kepentingan rakyat demi mengakomodasi kepentingan investor yang belum tentu membawa manfaat bagi daerah,” tambahnya.
Dalam penjelasanya, demonstrasi hari ini digelar sebagai puncak dari kekecewaan publik atas kebijakan Pemerintah Provinsi Kepri yang tidak transparan. Menurutnya, lelang kawasan Gurindam 12 dilakukan secara diam-diam tanpa melibatkan masyarakat Tanjungpinang sebagai pihak yang paling berkepentingan. “Tak ada sosialisasi, tak ada konsultasi publik, tahu-tahu sudah dilelang. Ini praktik pemerintahan yang tidak sehat,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas PUPR Kepri, Rodi Yantari, sebelumnya menyampaikan bahwa proses lelang sudah berjalan dan bahkan telah diminati sejumlah pengusaha. Ia juga menyebut sistem kerja sama pengelolaan (KSP) yang menguntungkan Pemprov Kepri dengan mendapat sewa lahan dan bagi hasil selama 30 tahun. Namun, pernyataan itu justru menimbulkan reaksi keras di masyarakat karena seolah-olah publik telah menyetujui kebijakan yang pro oligarki itu.
FPI Kepri menilai, penjelasan Rodi Yantari hanyalah pembenaran untuk meloloskan proyek lelang yang penuh tanda tanya. “Bagaimana mungkin proyek sebesar itu bisa dilelang tanpa pembahasan publik dan tanpa restu Pemerintah Kota Tanjungpinang yang wilayahnya menaungi kawasan Gurindam 12? Ini cacat prosedur dan bentuk kepemimpinan yang otoriter,” demikian pertanyaan publik menilai kebijakan lelang Gurindam 12.
Penolakan juga datang dari Wali Kota Tanjungpinang, Lis Darmansyah, yang merasa tidak dilibatkan dalam proses lelang. Lis secara terbuka menyampaikan kekecewaannya dan meminta agar pengelolaan Gurindam 12 diserahkan kepada Pemerintah Kota Tanjungpinang. Ia menilai Pemko lebih tahu kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang beraktivitas di kawasan itu.
Sebagai kepala pemerintahan di wilayah yang menaungi Gurindam 12, Lis mengaku kecewa dengan kebijakan Gubernur Ansar yang dinilai tak menghargai koordinasi antar-pemerintah. Namun, ia tetap menempuh jalur resmi dengan mengirimkan surat permohonan kepada Gubernur agar lelang dihentikan dan pengelolaan diserahkan kepada Pemko Tanjungpinang.
Sayangnya, surat permintaan itu tak pernah mendapat respons. Gubernur Ansar tetap bersikeras melanjutkan rencana lelang dan beralasan bahwa pihak swasta lebih profesional dalam mengelola kawasan wisata dan kuliner. Argumen ini dianggap publik sebagai bentuk pengingkaran tanggung jawab pemerintah terhadap pemberdayaan rakyat kecil.
“Kalau alasan Gubernur hanya karena swasta dianggap lebih profesional, lalu untuk apa ada pemerintah? Rakyat membayar pajak agar pemerintah hadir mengurus mereka, bukan menyerahkan aset publik ke tangan pengusaha,” krtik Hajarullah dalam diskusi menentang lelang Gurindam 12, berbagai waktu lalu.
Kini publik menunggu langkah bijak Gubernur dalam menyikapi protes keras atas lelang tersebut. Apakah Ansar Ahmad akan tetap bergeming di tengah badai kritik dan aksi rakyat, ataukah ia akan sadar bahwa kebijakan yang menentang kehendak rakyat hanya akan memperlemah kepercayaan publik terhadap kepemimpinannya.
Pertanyaan mendasar pun muncul di tengah masyarakat: Apakah keputusan melelang Gurindam 12 ini murni demi kepentingan daerah, atau ada kepentingan tersembunyi yang belum diungkap ke publik?
(red)











