Minta Lah Persetujuan Lewat Perbaikan Layanan di Pelabuhan SBP Tanjungpinang

Tanjungpinang
Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang. Istimewa

Oleh : Beni, SH
Praktisi Hukum Tanjungpinang, Provinsi Kepri

RENCANA kenaikan pas masuk penumpang di Pelabuhan Sri Bintan Pura (SBP) Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepri mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak.

Memang, wajar jika penolakan itu muncul setiap hari dan menghiasai media massa terutama media online. Berita-berita penolakan itu kini telah menyebar dari satu grup WhatsApp (WA) ke WA lainnya.

Sehingga, berita rencana kenaikan pas masuk pelabuhan senilai 50 persen itu membuat gerah para pembaca.

Dari sebelumnya Rp10 ribu menjadi Rp15 ribu per orang itu dianggap tidak adil dan memberatkan.

Rencananya, penerapan kenaikan pas pelabuhan ini akan dimulai 1 Agustus 2023 nanti. Dompet masyarakat Tanjungpinang akan mulai terkuras dan masuk ke PT Pelindo pengelola Pelabuhan SBP.

Pimpinan Pelindo sebaiknya jangan memaksakan kehendaknya. Sebaiknya tampung semua masukan-masukan kenapa penolakan itu justru membumbung tinggi hingga menjadi berita terviral saat ini.

Tentu saja mereka-mereka yang protes dan menentang rencana kenaikan pas pelabuhan tersebut memiliki alasan yang kuat. Sehingga mereka buka suara yang mendukung masyarakat selaku calon penumpang.

Mari kita tinjau dari segi fasilitas. Pelindo memang sudah membangun gedung baru di pelabuhan. Sehingga penumpang lebih nyaman saat menunggu kapal berangkat ke tujuan.

Ruang tunggu tersebut cukup luas dibandingkan gedung lama. Trestle pelabuhan juga sudah dibenahi dan dipasang kaca penahan angin.
Penumpang pun sudah nyaman jalan kaki sepanjang trestle.

Meski demikian kenaikan harga sudah terjadi pada 2017 lalu. Dari semula Rp 5 ribu menjadi Rp 10 ribu per orang. Begitu juga di pelabuhan internasional SBP.

Kondisi kini, parkiran masih tetap jadi sorotan masyarakat yang dianggap masih semrawut dan kurang layak. Parkirannya masih terlalu sempit. Jalannya tidak mulus.

Kendaraan yang diparkir di pelabuhan tidak terlindungi dari panas matahari dan hujan atau embun di malam hari. Apalagi jika kendaraan menginap di pelabuhan dan hujan turun, maka bisa menimbulkan masalah baru.

Ini salah satu yang kasat mata dan menjadi sorotan bagi pengelola pelabuhan. Mungkin masih ada fasilitas lainnya yang menjadi sorotan publik. Bisa jadi toilet, kantin dan lainnya.

Penolakan lain muncul karena Pelindo menaikkannya di saat yang tidak tepat. Status pandemi Covid-19 baru saja dicabut pemerintah pada 21 Juni 2023.

Pencabutan status tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia menjadi endemi.

Itu artinya, Indonesia menjalani hidup dalam kondisi pandemi 2,5 tahun. Selama pandemi itu, beberapa kali Triwulan mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat terseret jauh.

Bahkan pertumbuhan perekonomian sempat minus hingga sempat dikhawatirkan akan masuk jurang resesi. Itu artinya, perekonomian benar-benar babak belur kala itu.

Kini, status pandemi baru dinyatakan berakhir 1 (satu) bulan lebih, namun kebijakan-kebijakan yang memberatkan masyarakat justru muncul dari salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada di Tanjungpinang.

Masyarakat masih berusaha bangkit dari keterpurukan ekonominya yang jatuh selama dua setengah tahun ini dan kini sudah mulai mendapat tekanan baru.

Untuk itu, Pelindo haruslah peka terhadap kondisi masyarakat saat ini. Pelindo harus merasakan apa yang dialami penumpang saat ini yang harus mengeluarkan banyak uang untuk sekali perjalanan saja.

Mulai dari rumah kemungkinan sudah mengeluarkan uang untuk ongkos atau ojek, membayar pas pelabuhan, ongkos feri (kapal), taksi di pelabuhan Punggur Batam dan biaya lain.

Di daerah kepulauan seperti Kepri ini, biaya hidup untuk satu perjalanan sangat besar. Jarak Batam ke Tanjungpinang paling sekitar 50 Km saja.

Namun jika pulang pergi (PP), maka bisa menghabiskan biaya hingga Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu. Bandingkan dengan di daratan, ongkos bus sejauh 50 Km paling Rp 50 ribu saja.

Biaya hidup di daerah kepulauan ini juga besar. Sementara pertumbuhan ekonomi belum berada di puncaknya. Jadi, beban ekonomi masyarakat masih berat pascapandemi.

Pelindo pun sebaiknya mendengar jeritan warga, keluhan masyarakat yang masih kesulitan soal ekonomi dan jangan tambah beban mereka dengan pas pelabuhan yang naik hingga 50 persen.

Sebagian orang mungkin menganggap kenaikan Rp 5 ribu masih wajar. Namun, perlu diketahui aturan itu berlaku bagi semua penumpang yang masuk pelabuhan.

Jika setiap hari penumpang yang masuk ke pelabuhan 2.000 orang, maka Pelindo akan menerima Rp30 juta per hari jika kebijakan baru itu diterapkan. Tinggal kalikan saja per bulannya berapa.

Mari kita lihat dari sisi kemudahan untuk calon turis masuk. Pelindo berencana akan menaikkan pas penumpang di jalur internasional yang sebelumnya Rp 40 ribu untuk WNI akan naik menjadi Rp 75 ribu.

Sementara untuk Warga Negara Asing (WNA) yang sebelumnya Rp 60 ribu, akan naik menjadi Rp 100 ribu per orang.

Tentu saja ini bukan kebijakan yang pro sektor wisata. Harusnya pas masuk untuk turis asing dipertankan saja atau sebaiknya dikurangi.

Sehingga calon turis akan menganggap ini satu kemudahan dari pemerintah Indonesia dan akan meningkatkan kedatangan turis ke Tanjungpinang.

Itu lebih bagus untuk mendongkrak perekonomian. Karena satu turis itu bisa menghabiskan uang Rp 5 juta hingga Rp 10 juta sekali melakukan perjalanan.

Jumlah itu jauh lebih banyak dan lebih berguna bagi banyak sektor seperti restoran, hotel, usaha taksi, suvenir dan lainnya.

Pemerintah daerah melakukan promosi besar-besaran untuk menggaet turis agar berkunjung ke kota ini, namun sebaiknya harus menyesuaikan dengan pengelola pelabuhan.

Meski Pelindo satu-satunya pengelola pelabuhan domestik dan internasional di Tanjungpinang, bukan berarti bisa asal menaikkan tarif seperti ini.

Pelindo juga harus memperhatikan banyak sisi sebelum mengeluarkan satu kebijakan yang justru menjadi kontroversi dan mendapat banyak penolakan.

Pelindo jangan senang dulu. Meski sebagian anggota DPRD Komisi 3 sudah menandatangani kesepakatan itu, namun bukan berarti persetujuan itu menjadi kunci utamanya.

Sebab, dalam membuat atau ikut membuat sebuah kebijakan atau keputusan, DPRD sifatnya kolektif kolegial. Jadi kalau hanya segelintir orang tersebut ya tidak sah.

Masyarakat saat ini tentu sudah bijak. Bagi anggota DPRD yang tidak pro, perlu dipertimbangkan kembali.

Apalagi sejumlah fraksi di DPRD Tanjungpinang sudah terang-terangan melakukan penolakan atas rencana tersebut. Sehingga, tandatangan sebagian Komisi III harapannya gagal.

Bahkan pemerintah Provinsi Kepri dan Pemko pun perlu mengkaji kebijakan tersebut.

Pihak pengelola pelabuhan memang memiliki alasan untuk menaikkan pas pelabuhan tersebut sesuai dengan Peraturan Perhubungan nomor 121 tahun 2018. Pada pasal 22 berbunyi, tarif jasa kepelabuhan dapat ditinjau paling singkat dua tahun sekali.

Tarif yang sekarang ini berlaku sudah sejak tahun 2017 lalu. Artinya sudah bisa dilakukan tiga kali.

Jika Pelindo tidak menaikkan tarif pas pelabuhan karena alasan pandemi. Maka Pelindo tak perlu menaikkan pas pelabuhan dengan alasan, pasca pandemi Covid-19.

Sebagai tambahan, sebaiknya pengelola terus membenahi pelabuhan mulai dari pintu masuk yaitu gapura hingga penumpang sudah berada di dalam kapal. Penjualan tiket dan lainnya.

Bagaimanapun, apabila pelayanan sudah dinomorsatukan dan membuat pengguna merasa puas, maka kenaikan tarif seperti ini tidak akan menjadi gejolak.

Tentu saja penolakan kali ini karena dirasakan masih ada kekurangan yang harus dibenahi. Maka benahilah kehendak penumpang tersebut untuk mendapatkan persetujuan mereka ke depan melalui pelayanan yang semakin baik.

KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini