Tanjungpinang “Surga” Rokok Non Cukai, Presiden Prabowo Harus Turun Tangan

Tanjungpinang26 Dilihat

KOTA TANJUNGPINANG hari ini bukan hanya ibu kota Provinsi Kepri, tetapi juga dikenal sebagai “surga” peredaran rokok ilegal tanpa pita cukai. Dari toko kelontong hingga kedai kecil yang tersebar di sudut kota, rokok tanpa cukai dijual bebas seolah-olah barang sah. Para pedagang melakukannya tanpa rasa takut, seakan hukum berhenti di depan pintu toko mereka.

Fenomena ini membuat Tanjungpinang berbeda dengan kota lain. Konsumen dengan mudah mendapatkan rokok ilegal dengan harga jauh lebih murah dibanding rokok berpita cukai. Bagi masyarakat kecil, harga murah tentu menggoda, namun di baliknya ada kerugian besar yang menimpa negara, industri legal, dan pekerja yang menggantungkan hidup di sektor tersebut.

Kerugian negara akibat maraknya rokok ilegal bukan lagi hitungan miliar, melainkan triliunan rupiah yang sudah berjalan setidaknya dalam sepuluh tahun ini. Penerimaan cukai yang seharusnya mengalir ke kas negara untuk membiayai pembangunan, justru bocor ke kantong mafia. Industri rokok legal pun kian terjepit, karena produknya kalah bersaing di pasaran. Bila situasi ini dibiarkan, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal tidak bisa dihindari.

Ironisnya, aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir malah gagal menunjukkan keseriusan. Operasi penindakan yang sesekali dilakukan Bea dan Cukai Tanjungpinang hanyalah seremonial belaka. Seolah-olah hanya untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka bekerja. Padahal pintu keluar masuk untuk rokok ilegal dari Batam ke Tanjungpinang terbuka lebar setiap hari tanpa hambatan berarti.

Rokok ilegal yang membanjiri Tanjungpinang sebagian besar bersumber dari Batam, yang diproduksi oleh sejumlah perusahaan rokok yang di kota industri itu. Merek-merek seperti HD, RAVE, dan UFO menjadi primadona di pasar gelap ini. Harganya yang murah membuatnya laris manis, sementara rokok resmi hanya menjadi pilihan kelas dua. Para mafia dengan leluasa mengatur distribusi, memastikan stok tidak pernah putus.

Dalam hitungan jutaan batang per hari, rokok ilegal yang disuplai mafia mengalir deras dari Batam ke Tanjungpinang. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana mungkin arus barang sebesar itu bisa lolos tanpa tercium aparat? Jawabannya mengarah pada dugaan negosiasi “cincai-cincai” antara mafia dan oknum aparat. Selama masih ada ruang tawar-menawar, mafia akan selalu unggul.

Ancaman Menteri Keuangan Purbaya yang menegaskan akan menindak keras para mafia rokok ilegal nyatanya tidak membuat mereka gentar. Mafia justru semakin percaya diri, karena tahu di lapangan ancaman itu tidak diikuti dengan tindakan nyata. Aparat yaang ditugaskan di daerah tampak lumpuh, atau sengaja dibuat lumpuh.

Polanya selalu sama. Jika desakan masyarakat mulai riuh, aparat bergerak melakukan razia. Mereka mendatangi beberapa titik, menyita barang, lalu berpose di depan kamera. Publik diberi tontonan seolah-olah negara hadir. Namun begitu sorotan reda, mafia kembali berkuasa. Seperti lingkaran setan yang terus berulang.

Situasi ini memperlihatkan negara seperti kalah perang di Tanjungpinang. Bagaimana tidak, hukum seakan berhenti berfungsi ketika berhadapan dengan kelompok mafia rokok. Padahal ini bukan sekadar pelanggaran kecil, melainkan kejahatan ekonomi terorganisir yang merugikan negara triliunan rupiah dan mengancam ribuan lapangan kerja.

Fakta bahwa Tanjungpinang menjadi surga rokok ilegal menandakan kegagalan sistemik. Tidak mungkin mafia bisa begitu berkuasa tanpa perlindungan oknum aparat. Di sinilah akar masalahnya: bukan hanya lemahnya hukum, tetapi juga adanya kompromi yang sengaja dipelihara.

Pemerintah pusat sudah berulang kali menegaskan pemberantasan rokok ilegal. Namun tanpa dukungan nyata dari aparat di daerah, semua kebijakan itu hanya berhenti di atas kertas. Sementara itu, mafia terus menancapkan kuku, memperluas jaringan, dan menikmati keuntungan haram.

Bila tidak ada tindakan tegas dalam waktu dekat, Tanjungpinang akan kehilangan wajahnya sebagai ibu kota provinsi. Ia akan lebih dikenal sebagai kota yang dikendalikan mafia rokok, bukan oleh hukum dan pemerintahan. Stigma ini bukan hanya merusak citra daerah, tetapi juga menempatkan masyarakat dalam jebakan ekonomi ilegal.

Inilah saatnya Presiden Prabowo harus turun tangan. Jika ancaman Menteri Keuangan tidak digubris, maka kepala negara tidak boleh membiarkan aparat di lapangan main mata dengan mafia. Negara tidak boleh kalah, apalagi tunduk pada sindikat rokok ilegal yang merusak sistem. Tanjungpinang harus dibersihkan, jika tidak, seluruh Kepri akan tenggelam dalam kuasa mafia rokok.

Tajuk ini mengingatkan bahwa rokok ilegal bukan sekadar isu konsumsi murah, tetapi soal kedaulatan hukum dan martabat negara. Jika Tanjungpinang terus menjadi “surga rokok non cukai,” maka yang kalah bukan hanya industri, melainkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama.

suluhkepri.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *