Lubang Tambang, Lubang Hukum dan “Lubang Ingatan” Ansar Ahmad

Opini4 Dilihat

ADA SEBUAH CERITA LAMA yang masih segar di ingatan publik, namun entah mengapa seolah lapuk di mata hukum dan perlahan terkikis dikunyah waktu.

Cerita tentang DANA REKLAMASI pasca tambang di Kabupaten Bintan Provinsi Kepri, dana yang seharusnya menjadi penyelamat alam dari “kerakusan tambang” yang mengoyak tanah Bintan.

Cerita ini berawal di era ketika Ansar Ahmad menjabat sebagai Bupati Bintan. Kini, setelah ia naik kelas menjadi Gubernur Kepulauan Riau, kisah itu tetap menjadi bau busuk yang disembunyikan di bawah karpet mewah.

Dana Jaminan Pengelolaan Lingkungan (DJPL) atau lazim disebut dana reklamasi, wajib disetor oleh setiap perusahaan tambang. Fungsinya jelas, sebagai jaminan agar lubang-lubang tambang tidak berubah menjadi danau maut atau kubangan derita, dan agar hutan-hutan gundul bisa hijau kembali.

Namun, yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) justru ironi. Puluhan perusahaan sudah setor, miliaran rupiah sudah masuk, tapi ketika dicek, rekening yang seharusnya berisi dana pemulihan itu justru kosong melompong.

Dana sebesar Rp.145 miliar, ada yang menyebut Rp.168 miliar, bahkan Rp.186 miliar, raib entah ke mana. Hilang bagai ditelan bumi, atau mungkin tersedot ke kantong-kantong tak bertuan.

Jika benar dana itu lenyap, pertanyaan besarnya: SIAPA YANG BERMAIN?

Perusahaan sudah setor. Rekeningnya ada. Bukti transaksi ada. Tapi ketika alam menagih janji, yang muncul justru tanah tandus, bekas tambang tak terurus, dan dana yang tak jelas juntrungannya.

Apakah dana itu menguap di udara panas Bintan? Atau berubah wujud jadi proyek-proyek seremonial penuh baliho wajah sang bupati kala itu?

Lucunya, ketika publik menyoal dan organisasi masyarakat melapor ke KPK atau Kejagung, jawabannya selalu klise “Sedang ditindaklanjuti.” Tahun berganti, pejabat berganti, tapi kasus ini seperti mendapat karpet merah menuju lubang pelupaan.

Ansar Ahmad sendiri melenggang naik jabatan, dari bupati ke gubernur, seakan jejak masalah kerusakan lingkungan di Bintan hanyalah coretan kecil di papan tulis yang bisa dihapus dengan penghapus basah.

Apakah ini yang disebut prestasi? Alam rusak, dana hilang, rakyat bingung, tapi sang pemimpin justru naik kasta politik?

Realita yang satu ini sungguh layak jadi bahan kuliah hukum, bagaimana mungkin pejabat yang masa pemerintahannya tercatat oleh audit BPK sebagai penuh keganjilan justru tak pernah benar-benar disentuh hukum?

Apakah karena ia kebal? Atau karena hukum di negeri ini tahu diri, jangan sampai berani menyentuh orang yang sedang berkuasa?

Yang lebih tragis, rakyat Bintan yang menanggung akibat. Bekas tambang tak direklamasi tetap menganga, jadi ancaman ekologis dan sosial. Anak-anak tumbuh di sekitar tanah rusak, air tanah tercemar, dan lahan pertanian terganggu.

Dana yang seharusnya jadi jaminan masa depan mereka lenyap, tapi siapa peduli? Bagi pejabat, selama masih ada panggung, selama baliho masih berdiri, selama kursi kekuasaan masih nyaman, luka di tanah Bintan hanyalah catatan kaki.

Kini Ansar Ahmad duduk di kursi Gubernur Kepulauan Riau, seragamnya gagah, pidatonya manis. Namun, di balik itu, ada jejak masa lalu yang belum selesai.

Tulisan ini tidak bermaksud menggiring opini semata, tetapi justru ingin mengingatkan publik. Jangan biarkan kasus reklamasi yang hilang ini menjadi “dongeng rakyat” yang hanya diceritakan di warung kopi. Ini bukan sekadar soal uang miliaran yang raib, tapi tentang mandat keadilan, tentang hak rakyat atas lingkungan hidup yang lestari.

Kalau dana reklamasi bisa hilang, jangan-jangan suatu hari nanti laut pun bisa diprivatisasi, hutan dijual kiloan, dan udara dipajaki. Dan mungkin, jika ada audit lagi di masa depan, kita akan mendengar kalimat yang sama “dananya sudah disetor, tapi tidak ada di rekening.”

Kalau benar hukum masih berlaku di negeri ini, maka seharusnya jejak dana reklamasi di Bintan tidak boleh berhenti di meja laporan BPK.

Aparat harus membuka lembaran ini kembali, menelusuri ke mana alirannya, siapa yang bertanggung jawab, dan mengapa sampai sekarang semua seolah sunyi.

Jika tidak, maka benar kata seorang tokoh dunia Mahatma Gandhi yang menegaskan, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan segelintir orang”.

ANDI RILAGA
Koordinator Ormas: Poros Jakarta Kepri
Tinggal di Tanjungpinang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *