Sunggguh Miris! Rasa Keadilan Dibenam Delapan Enam

Tanjungpinang
Koordinator MAKI, Boyamin Saiman

Masa depan penegakan hukum di negeri ini kian suram. Hukum bukan lagi beridiri tegak yang berkeadilan kepada setiap warga negara, tapi sudah oleng bak kapal yang hendak tenggelam di air tenang, karena hukum sudah menjadi lahan permainan sesuai selera orang yang menyetirnya.

Kata bijak yang menyebut “Hukum Terkesan Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas” semakin nyata dalam perjalanan penegakan hukum di Indonesia.

Fakta menunjukkan banyak kasus-kasus hukum yang melibatkan orang-orang kaya yang bergelimang harta yang tak habis 7 keturunan, harus terhenti di laci penegak hukum akibat dibenam delapan enam, istilah damai dibalik layar yang ngetrend dalam penegakan hukum di negeri ini.

Permainan hukum yang terpaksa mengorbankan marwah hukum itu sendiri juga lembaga penegak hukumnya dan sekaligus mencoreng arang hitam bagi negerinya sendiri, sepertinya tidak lagi terjadi ditingkat elit Jakarta, tapi sudah meramba ke pelosok negeri.

Sebut saja, perkara korupsi terhadap 2 pejabat publik yaitu Ilyas Sabli, politisi NasDem, dan Hadi Chandra dari Golkar, yang ditangani aparat penegak hukum di Kejati Kepri yg saat ini menjadi sorotan publik.

Sungguh aneh bin ajaib, meski keduanya telah ditetapkan tersangka korupsi oleh Kejati Kepri, sejak Mei 2017 lalu, tapi perkara korupsi pada dana tunjangan perumahan DPRD Natuna tahun 2011-2015 yang bernilai Rp 7,7 miliar itu tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan untuk diadili.

Kini keduannya melenggang menduduki kursi DPRD Kepri, periode 2019-2024, hasil pemilu 2019. Meski menyandang status tersangka, keduanya merasa nyaman menikmati uang negara dari gaji dan tunjangan sebagai anggota Dewan.

Akan tetapi mandeknya perkara korupsi APBD Natuna di laci Kajati Kepri, turut menjadi perhatian lembaga swadaya masyarakat bernama MAKI (masyarakat anti korupsi indonesia) yang berkedudukan di Jakarta.

MAKI tidak rela melihat kasus ini diendapkan yang sekaligus menjadi ladang empuk bagi oknum-oknum penegak hukum yang tak bermoral untuk menarik upeti dari pihak-pihak yang berperkara. MAKI lantas menggugat para petinggi penegak hukum, seperti Kajati Kepri, KPK hingga pihak BPK, ke Pengadilan Negeri Tanjungpinang, yang saat ini sedang berproses.

Memang kasus ini penuh misteri dan anehnya meski sudah ada tersangkanya namun tidak pernah diadili karena perkaranya tertahan di Kejati Kepri. Yang sangat menggelikan, kedua tersangka ikut mengucapkan sumpah janji atas nama Tuhan Yang Maha Esa, untuk memenuhi kewajibannya sebagai wakil rakyat terhormat dengan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan, yang berpedoman kepada Pancasila, dan UUD 1945.

MAKI Minta Kajati Kepri Hadir di Persidangan

MAKI merasa kecewa karena ketidakhadiran Kajati Kepri dalam persidangan perdana praperadilan mangkraknya penanganan perkara korupsi tunjangan perumahan DPRD Natuna yang digelar di Pengadilan Negeri Tanjungpinang, pada Jumat (20/9) lalu. Sidang pun akhirnya ditunda.

Namun untuk sidang kedua, yang dijadwalkan besok, Jumat (4/10/2019), MAKI meminta Kajati Kepri Edy Birton atau kuasanya, hadir dalam persidangan tersebut. Namun demikian, jika bersih keras tidak hadir, MAKI akan meminta majelis hakim untuk melanjutkan persidangan.

“Kalau Kajati Kepri tidak juga hadir pada sidang kedua ini, saya akan meminta kepada hakim tetap melanjutkan sidang tanpa dihadiri para tergugat termasuk Kajati Kepri atau dikenal istilah sidang Verstek,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman di Jakarta, Kamis (3/10), dalam keterangan tertulisnya.

Bonyamin mengatakan sebagai aparat penegak hukum, Kajati Kepri harus memberi contoh yang baik dengan menghadiri sidang karena sebagai upaya penegakan hukum.

Memang sangat ironis, Kajati Kepri yang digaji negara justru enggan menghadiri sidang praperadilan. Sementara MAKI mewakili kepentingan publik dan sebagai penggugat, selalu komitmen menghadiri sidang meski dengan menggunakan biaya sendiri.

“Ini yang ironis, mereka (Kejati Kepri) seharusnya hadir karena dibiayai oleh negara,” tegas Boyamin.

Jika absen dalam sidang, berarti Kajati Kepri sudah mengabaikan kesempatan untuk membela diri.
“Kalau para tergugat tidak hadir termasuk Kajati Kepri, sebaiknya hakim tetap melanjutkan sidang demi kepastian hukum terhadap perkara korupsi ini,” katanya.

Ia sangat prihatin melihat ketidakpastian status hukum para tersangka kasus korupsi tersebut. Sebab, kata Boyamin, proses hukum terhadap para tersangka yang berjumlah 5 orang, hingga saat ini terkatung-katung di Kejati Kepri.

“Lantaran tidak melanjutkan kasus ini ke penuntutan di pengadilan, berarti pihak Kejati Kepri melanggar banyak undang-undang, Pasal 50 KUHAP dan termasuk Konvensi/Peraturan PBB,” ungkap Boyamin.

Dalam sidang praperadilan tersebut MAKI menggugat Kajati Kepri sebagai termohon I, KPK sebagai termohon II, BPK Perwakilan Kepri termohon III, dan BPKP Kepri termohon IV. Sidang pertama, hanya termohon IV yang hadir dengan diwakili Pandapotan dari BPKP Kepri.
Kajati Kepri tidak hadir tanpa alasan yang jelas, KPK dan
BPK Perwakilan Kepri juga tidak hadir, namun KPK meminta sidang ditunda selama dua pekan. Gugatan bernomor registrasi 3/Pid.Pra/2019/PN Tpg.

Karena para termohon tidak lengkap, persidangan yang dipimpin hakim tunggal Guntur Kurniawan akhirnya menunda sidang. “Sidang akhirnya ditunda karena para termohon tidak lengkap hadir. Sidang berikutnya akan diadakan tanggal 4 Oktober 2019,” katanya.

Guntur mengatakan akan kembali mengirimkan surat panggilan kepada Kajati Kepri untuk menghadiri sidang praperadilan pada 4 Oktober 2019. “Kami akan panggil kembali Kajati Kepri,” tegasnya.

Ketidakhadiran Kajati Kepri membuat Boyamin Saiman kecewa. Selaku pemohon, ia menilai Kajati Kepri sebagai penegak hukum, telah memberikan contoh yang tidak baik dalam penegakan hukum.

“Sebaliknya, Kejaksaan biasanya suka melakukan upaya paksa terhadap pihak-pihak yang tidak hadir dalam pemeriksaan perkara. Giliran mereka (Kejaksaan) yang mau diproses hukum, mereka tidak mau hadir,” tegasnya lagi.

Boyamin berharap Hakim bisa melakukan upaya paksa kepada Kajati Kepri untuk hadir pada sidang yang akan digelar pada 4 Oktober 2019, dan meminta sidang kedua tetap dilanjutkan meski Kajati Kepri tidak hadir.

Boyamin menjelaskan penanganan kasus koruosi tersebut sudah dua tahun menggantung di Kejati Kepri. 5 orang telah ditetapkan tersangka.
Dua di antaranya mantan Bupati Natuna yaitu Raja Amirullah dan Ilyas Sabli. Kemudian Ketua DPRD Natuna periode 2009 – 2014 Hadi Chandra, Sekda Natuna periode 2011 – 2016 Syamsurizon yang saat itu juga menjabat ketua tim TAPD, dan Makmur yang menjabat Sekwan Natuna 2009 – 2012.

“Padahal, dalam proses penyidikan yang dilakukan sejak 2017 lalu, Kejati Kepri telah menetapkan lima orang tersangka. Dua di antaranya mantan Bupati Natuna Raja Amirullah dan Ilyas Sabli,” ungkapnya.

Menurut Bonyamin kelima orang tersebut ditetapkan sebagai tersangaka di masa kepemimpinan Yunan Harjaka senagai Kajati Kepri.

Terkait gugatannnya, Boyamin menegasksn pihaknya sangat berkepentingan untuk membantu negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk mempraperadilan perkara-perkara korupsi yang mangkrak, seperti yang terjadi di Kejati Kepri. (Tr)

KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini