Perjuangan FPI Kepri untuk Publik, Gurindam 12 Dibangun Rakyat Bukan Koorporasi

Opini121 Dilihat

SOLIDITAS FORUM PEDULI IBUKOTA (FPI) KEPRI dalam menolak kebijakan lelang kawasan kuliner Gurindam 12 kepada pihak swasta telah menunjukkan wajah sejati gerakan rakyat. Di bawah komando Hajarullah Aswad, FPI berdiri di garis depan membela hak masyarakat kecil, khususnya pedagang dan pelaku UMKM lokal, agar tidak tersingkir dari ruang ekonomi yang dibangun dengan uang rakyat sendiri.

Aksi demonstrasi yang digelar di Kantor Gubernur Kepri, Dompak, 8 Oktober lalu bukan sekadar unjuk rasa emosional. Itu adalah bentuk perlawanan moral terhadap kebijakan yang cacat logika dan keadilan sosial. Gurindam 12 dibangun dengan dana publik, menggunakan APBD Kepri yang nilainya mencapai Rp 500 miliar, bukan uang investor atau korporasi. Maka menjadi tidak masuk akal ketika pengelolaannya justru akan diserahkan kepada pihak swasta dengan dalih profesionalisme dan efisiensi anggaran.

FPI Kepri melihat bahwa di balik kebijakan tersebut tersembunyi mental ketergantungan dan ketidakberdayaan Gubernur Ansar sebagai pemimpin di Provinsi Kepri. Pemerintah daerah seolah kehilangan daya cipta dan tanggung jawab sosial dalam mengelola aset publik. Padahal pemerintahan dibentuk bukan untuk menyerahkan tanggung jawab kepada pemodal besar, melainkan mengelola kekayaan daerah demi kemakmuran rakyat secara merata dan berkeadilan.

Banyak pihak mengapresiasi konsistensi FPI Kepri. Namun ada juga kelompok kecil yang mulai merasa gerah. Setelah aksi damai itu, muncul gelombang komentar sinis dari segelintir orang di media sosial. Kelompok ini diduga kuat merupakan buzzer politik pendukung Gubernur Ansar Ahmad.

Alih-alih berargumen rasional, para buzzer ini hanya menebar nyinyiran dengan memamerkan logika sempit. Mereka berdalih bahwa hanya swasta yang mampu membiayai perawatan, keamanan, dan promosi kawasan Gurindam 12. Dalih dangkal ini bukan hanya memperlihatkan rendahnya kapasitas berpikir, tapi juga menyingkap pola pikir pemerintah daerah yang sama lemahnya.

Bila alasan itu dipakai sebagai dasar kebijakan, maka untuk apa ada pemerintah dan pemimpin yang dibiayai rakyat? Jika setiap tanggung jawab publik pada akhirnya diserahkan kepada swasta, lebih baik hapus saja anggaran belanja pejabat dan birokrasi yang setiap tahun menghabiskan miliaran uang rakyat. Pemimpin sejati bukanlah yang menyerah pada keterbatasan, melainkan berinovasi di tengah kesulitan.

Tujuan utama pemerintahan dibentuk adalah mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan memberi jalan kepada segelintir pemodal untuk menguasai aset publik. Rakyat membayar pajak, bekerja, dan berkontribusi agar negara hadir melindungi kepentingan mereka, bukan untuk menonton pemerintah menjual hak rakyat atas nama investasi.

FPI Kepri memperjuangkan prinsip dasar itu: rakyat harus menjadi tuan di negerinya sendiri. Mereka menolak penyerahan kawasan Gurindam 12 bukan karena anti-investasi, tetapi karena menolak penindasan ekonomi yang berwajah modern yang mengorbankan hak rakyat demi keuntungan kelompok tertentu.

Kebijakan menyerahkan pengelolaan kawasan publik kepada swasta selama puluhan tahun jelas bentuk penyimpangan visi pembangunan. Setelah uang rakyat habis untuk membangun, kini justru hak pengelolaan diserahkan kepada pihak lain. Rakyat hanya jadi penonton di atas aset yang mereka biayai.

Di mana keadilan ketika hasil keringat rakyat dinikmati segelintir orang yang sudah kaya raya? Apa kebanggaan pemerintah yang menyerahkan kedaulatan ekonomi lokal kepada pemodal besar? Inikah yang disebut profesionalisme, ketika pemerintah berperan sebagai pelayan korporasi, bukan pelindung rakyatnya sendiri?

Logika seperti ini tidak hanya salah, tapi berbahaya. Ia mematikan semangat kemandirian dan menciptakan pemerintahan yang lemah mental. Padahal, daerah yang besar dibangun dari keberanian pemimpinnya mengambil tanggung jawab, bukan dari kemudahan menyerahkan urusan rakyat kepada investor.

FPI Kepri berjuang bukan untuk mencari panggung politik, tapi untuk mengingatkan bahwa kebijakan publik harus berpihak kepada rakyat kecil. Mereka adalah kelompok yang paling terdampak setiap kali pemerintah abai terhadap asas keadilan sosial.

Sementara itu, kelompok buzzer yang menertawakan perjuangan rakyat kecil hanyalah cermin dari kemunduran moral dalam ruang publik. Mereka tidak hadir untuk berdiskusi, tetapi untuk menekan, membungkam, dan menyesatkan opini demi melindungi kekuasaan yang mulai kehilangan legitimasi moral.

Sudah saatnya publik melihat dengan jernih. FPI Kepri tidak sedang melawan pemerintah, tetapi melawan kebijakan yang melenceng dari tujuan pemerintahan itu sendiri. Yakni untuk menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat, bukan kemewahan bagi investor.

Dan jika hari ini ada kelompok yang masih menertawakan perjuangan rakyat untuk mempertahankan haknya di tanah sendiri, maka sesungguhnya merekalah yang kehilangan rasa solidaritas dan kebangsaan. Karena yang diperjuangkan FPI Kepri adalah sesuatu yang paling mendasar dari cita-cita kemerdekaan: rakyat berdaulat atas tanah dan masa depannya sendiri.

suluhkepri.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed